 |
Pemilihan Umum Tahun 2019 |
Bakal calon legislatif telah diumumkan.
Masyarakat diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan. Namun, di mana-mana
tanggapan itu minim. Bahkan, di sebagian daerah tidak ada sama sekali. Padahal,
21 Agustus 2018 batas akhir tanggapan itu.
Tanggapan terhadap calon
sementara adalah saringan umum pertama. Masyarakat diminta untuk jeli melihat
bakal calon wakilnya di Dewan Perwakilah Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten, baik
daerah maupun pusat. Tidak gampang. Daftar calon sementara (DCS) itu berisi
banyak nama. Dalam satu daerah pemilihan di kabupaten kecil saja bisa seratus
lebih. Blora, misalnya, di dapil 1 saja terdapat 50 lebih calon sementara.
Daerah pemilihannya ada lima.
Pengumumannya sendiri dilakukan
dalam waktu yang cukup. Tanggal 12 -21 Agustus. Di samping lewat website KPU,
juga media massa. Rupanya masyarakat belum terbiasa memberi tanggapan. Ada yang
tak biasa membuka website. Ada yang tidak membaca media massa. Yang terbanyak,
kayaknya, mereka cuek-bebek. Toh, mereka tidak kenal satu per satu calon yang
sekian banyaknya.
Kalau tidak ada tanggapan serius
yang sampai menggugurkan syarat menjadi calon, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan
menetapkan dan memasukkannya dalam daftar calon tetap (DCT). Selanjutnya
merekalah yang berhak memperebutkan kursi legislatif melalui pemilihan umum
tahun 2019.
Bagi KPU tentu menyenangkan.
Tidak perlu ribet membahas tanggapan masyarakat. Tapi, masyarakat sendiri yang
rugi. Mereka dihadapkan pada “kucing dalam karung.” Mudah-mudahan calon yang
terdaftar dalam DCS atau DCT sudah betul-betul disaring oleh partai
masing-masing. Sehingga kalau masyarakat harus memilih tidak kebliduk (keliru dan
tertipu).
Masih ada tahap saringan umum
lainnya yaitu kampanye. Para calon diberi kesempatan aktif mempromosikan
dirinya kepada masyarakat. Mereka bebas mengunggul-unggulkan dirinya. Mau
sampai setinggi langit tidak ada batasan. Asal jangan merendahkan calon lain.
Repotnya, merujuk kampanye pemilu
legislatif lalu, masyarakat juga cuek. Apalagi pemilu sekarang ini sudah tidak
seperti dulu. Tidak banyak hingar-bingar yang membuat masyarakat tertarik.
Kampanye sekarang cenderung sepi. Alasannya macam-macam. Bisa khawatir terjadi
gesekan antarpendukung. Bisa dengan alasan kampanye santun dan intelek. Bisa
juga karena efektivitas dan efisien.
Bila kampanye tidak efektif,
masyarakat yang dirugikan. Lagi-lagi mereka dihadapkan pada “kucing dalam
karung.” Mereka akan memilih sekenanya. Atau, meminjam istilah sewaktu saya
masih sekolah madrasah, menentukan pilihan dengan menghitung kancing. Kalau
benar alhamdulillah. Kalau salah risiko. Toh tidak ada yang memberi sanksi.
Itulah yang kemudian dimanfaatkan
oleh para calon lebgislatif dan juga calon kepala daerah. Mereka menyodorkan
pilihan pragmatis. Diiming-iming uang. Dalam pemilihan legislatif tahun lalu
serta pemilihan kepala daerah yang telah berlangsung terlihat indikasi. Daerah
yang tebaran uangnya banyak, partisipasi masyarakat cenderung tinggi. Calon yang menebar uang merah
cenderung menang dibanding yang hanya membagikan uang hijau atau ungu.
Beberapa waktu lalu saya bertemu
seorang anggota legislatif di suatu daerah. Dia bertekad akan maju lagi untuk
duduk sebagai wakil rakyat di satu kabupaten. Saat itu sudah disediakan uang 1
miliar rupiah. Uang sebanyak itu belum dianggap cukup. Dia masih akan menjual
sebagian tanahnya untuk menambahi menjadi 1,5 miliar rupiah. Itu pun belum
dianggap aman. “Kalau mau aman harus dua Miliar,” ujarnya. Berarti harus
menyediakan dana 2 miliar rupiah.
Dana kampanye dari periode ke
periode cenderung naik. Pemilu semakin mahal. Yang menyedihkan kalau uang yang
berbicara, kualitas pasti terabaikan. Inilah yang seharusnya menjadi
keprihatinan kita.
Memang sulit. Masyarakat sudah
telanjur berada dalam satu situasi dan kondisi yang terjebak dalam politik
praktis. Seorang calon yang tidak menyediakan dana kampanye yang cukup harus
bersiap-siap kalah. Padahal, bisa jadi, mereka sangat berkualitas, mumpuni,
berintegritas, memiliki idealisme, dan layak menjadi wakil rakyat.
Nah, apakah kita harus larut
dalam pusaran politik yang tidak bertanggung jawab tersebut. Tentu tidak. Kita
berbuat bersama. Harus ada yang rela menjadi korban. Harus ada yang mau menjadi
tokoh meskipun tidak populer. Kita pasti bisa.
Presiden Joko Widodo (Jokowi)
mengingatkan agar masyarakat tidak mudah saling curiga atau berburuk sangka
kepada orang lain. Menurut dia, hal itu bukanlah budaya dan etika bangsa
Indonesia dan juga tidak diajarkan oleh Rasulullah.
"Yang benar itu husnu
tafahum, selalu berprasangka baik kepada orang lain. Selalu melihat orang lain
dengan penuh kecintaan. Tidak gampang curiga. Selalu berpikir positif. Tidak
selalu menyampaikan hal-hal yang negatif terus. Merasa benar sendiri. Merasa
pintar sendiri. Merasa betul sendiri," pesannya.
Ia mengajak seluruh bangsa
Indonesia, agar menjaga persatuan dan persaudaraan penting dilakukan menjelang
Pemilihan Presiden 2019 yang akan digelar. Presiden pun berpesan agar
masyarakat tetap rukun walaupun berbeda pilihan politik.
"Jadi saya titip jangan
sampai karena berbeda pilihan kita menjadi tidak saling sapa antartetangga. Ya
sudah beda dengan tetangga ya enggak apa-apa. Tapi tetap rukun. Itu pesta
demokrasi kok. Inilah kematangan kita dalam berpolitik, kedewasaan kita dalam
berpolitik," kata dia, dikutip dari siaran resmi Istana.
Selain itu, Jokowi juga
mengingatkan masyarakat agar cerdas dalam menggunakan hak pilihnya, termasuk
dalam memilih pemimpin. Presiden mengimbau masyarakat agar melihat rekam jejak,
prestasi, dan kinerjanya terlebih dahulu sebelum menentukan pilihan.
"Pandai-pandailah memilih
pemimpin karena itu penting. Lihat rekam jejaknya. Prestasinya apa. Kinerjanya
seperti apa," kata dia.
Menurut Jokowi, pelaksanaan dan
proses demokrasi di Indonesia saat ini pun semakin matang. Hal ini dilihat dari
hasil pelaksanaan pilkada serentak yang baru saja dilaksanakan.
"171 pemilihan bupati,
walikota dan gubernur, saya melihat masyarakat semakin matang masyarakat
semakin dewasa dalam memilih pemimpinnya," ucapnya.
Selain itu, Presiden juga
mengingatkan tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia yang semakin sulit. Di
antaranya yakni terjadinya perang dagang antarnegara, radikalisme, hingga
revolusi industri. Untuk itu diperlukan persatuan dan persaudaraan untuk
menghadapinya.
"Kita ini bersatu saja
menghadapi tantangan besar yang semakin sulit belum tentu bisa memenangkan
apalagi tidak bersatu. Oleh sebab itu saya mengajak kita semuanya untuk terus
menjaga ukhuwah islamiyah kita, menjaga ukhuwah wathaniyah kita," kata Presiden.
Semoga bermanfaat. (redaksi)